SEJARAH SINGKAT KELOMPOK STUDI WALISONGO |
Mengapa Harus Kekeluargaan ?
Mungkin terbersit dalam diri untuk terlepas dari sikap kesukuan, tetapi apakah itu berarti kita mesti meninggalkan kekeluargaan?. Saya ingin menyakinkan bahwa bahwa mau tidak mau kita tetap membutuhkan kekeluragaan dan kedaerahan pada batas-batas yang semestinya, ditinjau dari berbagai sisi.
Pertama dari tinjauan sosial, kita sebagai manusia, adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan lingkungan dimana kita tinggal. Kebutuhan kita terhadap orang lain tidak hanya sebagai keniscayaan untuk kelangsungan hidup, tetapi juga sebagai kebutuhan demi melaksanakan kewajiban sosial dan kewajiban agama. Organisasi kedaerahan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika mahasiswa di Kairo.
Kecenderungan untuk berkumpul dengan teman yang berkultur sama adalah kecenderungan alami, yang tidak mungkin untuk “dimusnahkan” tetapi cukup diarahkan agar tidak terjerumus dalam sikap-sikap primordial, misalnya dengan dibentuknya forum silaturrahmi kekeluargaan.
Kedua, dalam konteks pendanaan keorganisasian di Kairo, hingga saat ini kekeluargaan bisa dikatakan cukup mapan dalam masalah pendanaan organisasi, bahkan terkadang lebih mapan dari pada organisasi afiliatif sekalipun. Pendanaan yang hingga saat ini masih sangat diandalkan oleh organisasi semacam KSW, selain sumbangan Dewan Penyantun adalah sumbangan tenaga musiman tiap tahun yang berkisar antara 1500-2000 Dollar. Bila dana ini bisa terus berlanjut, dan bisa dikembangkan bukan tidak mungkin suatu saat KSW bisa “menggaji” pengurusnya.
Ketiga, ketidak mampuan sebuah organisasi dalam memfasilitasi seluruh mahasiswa yang ada di Kairo. Ini karena beberapa perbedaan, baik perbedaan visi, latar belakang ideology, kecenderungan atau sebab-sebab yang lain. Maka kita akan dapatkan organisasi PPMI, WIHDAH, Senat Fakultas, Kelompok Kajian, Perbuletinan, Kerjasama Bisnis, dan akhirnya kekeluargaan dan kedaerahan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Meskipun terkadang terjadi tumpang tindih kegiatan dengan organisasi lain, tetapi semuanya tidak kosong dari para aktifis.
Selain masalah pendanaan sebagaimana saya sebutkan di atas, maka secara otomatis Kedaerahan memiliki anggota yang cukup banyak jika perlu dibandingkan dengan organisasi lain. Adanya pendanaan yang mapan dan aset anggota yang cukup banyak ini, membuat Kekeluargaan semakin eksis, dan mampu bersaing dengan organisasi lain dalam berkarnya dan memberikan sumbang sih terhadap dinamika mahasiswa Mesir.
Mengarahkan “Kesukuan”
Organisasi kekeluargaan atau kedaerahan tidak dimaksudkan sebagai organisasi etnis yang menonjolkan kesukuan, buktinya hak privacy masing-masing orang untuk menjadi anggota sebuah kekeluargaan tertentu di luar kedaerahannya juga masih sangat dihargai. Jika ada sikap-sikap puritan dari sebagian anggota sebuah organisasi kedaerahan, maka tentunya tidak bisa kita hukumi sebagai sikap organisasi secara umum.
Jika kita melihat fenomona kesukuan ini dengan kaca mata al-Qur’an, agaknya memang sudah menjadi gejala alam. Hanya saja al-Qur’an menandaskan bahwa keberadaan manusia dengan dikelompokkan dalam berbagai bangsa dan suku adalah untuk saling mengenal. Dari perkenalan ini kemudian akan terbentuk interaksi dan kerjasama anatar manusia. Manusia diajak mengenali lingkungannya yang terkecil unutk kemudian mengembangkannya dalam lingkup yang lebih besar, sehingga bisa mendatangkan manfaat kemanusiaan yang lebih besar juga.
Lebih spesifik, kita membicarakan Kelompok Studi Walisongo dan kedaerahan yang lain, sesungguhnya bisa kita kembangkan untuk mempelajari budaya masing-masing daerah, sehingga terjadi dialog budaya. Ini sangat kita perlukan dalam menunjang keberhasilan dakwah Islam. Orang Jawa juga tidak mesti hidup di Jawa, orang Jawa juga orang Indonesia, dia “tertuntut mengenal budaya Indonesia yang Bhinneka tapi Tunggal Ika itu.
Jika kita kembangkan pembicaraan di sini pada kemungkinan diberlakukannya kebijaksaan pemerintah tentang otonomi daerah, maka organisasi kekeluargaan juga bisa mengambil peran lebih banyak. KSW bisa saja merintis pemetaan potensi anggota, yang barangkali suatu saat akan bermanfaat.
Jadi permasalahannya memang bukan pada nama “kesukuan” atau pada kesan kesukuan yang menempel pada organisasi kedaerahan, namun bagaimana menghilangkan kesan itu dengan menonjolkan visi-visi kemahasiswaan dan keislaman. Bagaimanapun seorang akademisi muslim dalam beraktifitas dimanapun, harus meletakkan Islam yang rahmatan lil alamin di atas segala kepentingan. Semoga motto ini dapat senantiasa kita aplikasikan dalam aktivitas sehari-hari. Amin.